Sifat Orang Wajd

Munajat Sufi
Add caption


Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Allah Swt berfirman:
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah.” (Q.s. az-Zumar: 23).
Inilah salah satu di antara sifat-sifat orang yang wajd. Sementara di ayat lain Allah juga berfirman:“(Yaitu) orang-orang yang apabila Nama Allah disebut maka hati mereka gemetar.” (Q.s. al-Hajj: 35).
Maka hati yang gemetar juga salah satu dan sifat-sifat orang yang wajd.
Disebutkan dalam sebuah Hadis, bahwa Rasulullah Saw. pernah dibacakan:
“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dan tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (Q.s. an-Nisa’: 41).
Kemudian Rasulullah pingsan. Dengan demikian pingsan adalah termasuk salah satu sifat dan sifat-sifat orang yang wajd.
Dan cerita-cerita mengenai hal ini cukup banyak, misalnya menangis tersedu-sedu sampai sulit bernafas, pingsan, merintih, menjerit, berteriak dan lain-lain. Maka semua itu adalah sifat-sifat orang yang wajd.
Sementara itu mereka terbagi dalam dua tingkatan: Wajid (orang yang benar-benar wajd) dan Mutawajid (orang yang berusaha melakukan wajd).
Adapun orang-orang yang benar-benar wajd itu terbagi dalam tiga golongan: Pertama, wajd mereka selalu menyertainya, namun dalam beberapa waktu mereka terhadang oleh ajakan-ajakan nafsu, sifat-sifat (akhlak) manusiawi dan temperamen diri (tabiat), Sehingga waktunya tercemar dan kondisi spiritualnya pun berubah. Kedua, wajd mereka juga menyertainya, hanya saja bila ada sesuatu yang menyamai setiap wajd-nya datang secara tiba-tiba, misalnya suara-suara yang mengetuk pendengarannya, maka mereka menikmatinya, kemudian tumbuh semangat hidupnya dan akhirnya wajd-nya berubah. Ketiga, wajd mereka senantiasa menyertainya dan tak pernah berubah, sehingga wajd-nya telah menjadikan mereka fana. Sebab orang yang telah menemukan (wajid) benar-benar telah fana dengan apa yang ia temukan, sehingga dalam diri mereka tidak ada sisa sedikit pun tentang wujud (eksistensi) din mereka. Sebab segala sesuatu bagi mereka seperti sesuatu yang hilang ketika mereka wajd dengan apa yang ada tanpa melihat wajd mereka.
Sementara orang-orang yang berusaha untuk wajd (mutawajid) terbagi dalam tiga kelompok: Pertama, kelompok yang memaksakan diri menyerupai orang-orang yang wajd, mereka yang biasa bermain-main dan orang yang tak memiliki nilai apa pun dalam wajd.
Kedua, kelompok orang-orang yang menyeru berbagai kondisi spiritual yang mulia dengan melakukan tantangan atas dirinya setelah putusnya semua ketergantungan yang menyibukkan dan sebab-sebab yang mengganggu hubungannya dengan Allah. Maka tawajud seperti ini adalah baik, meskipun ada yang lain yang lebih baik lagi. Sebab mereka telah membuang dunia di belakangnya. Sehingga usaha mereka untuk bisa wajd adalah untuk kebaikan, hiburan dan senang dengan apa yang telah mereka rangkul, sementara mereka telah menanggalkan kenikmatan-kenikmatan duniawi dan meninggalkan hal-hal yang telah maklum.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Jika ada orang yang mengingkari hal ini dan mengatakan, bahwa hal ini di luar ilmu (syariat), maka Anda perlu menjawabnya, bahwa ada Hadis yang diriwayatkan dan Rasulullah Saw. yang pernah bersabda:
Jika kamu mendatangi orang-orang yang disiksa (karena zalim terhadap dirinya sendiri) maka menangislah. Dan jika kamu tidak bisa menangis maka berusahalah menangis.” (H.r. Ahmad dan Bukhari dan Ibnu Umar).
Maka kiasannya adalah, bahwa tawajud (berusaha wajd) itu berasal dari wajd, sama dengan tabaakii (berusaha menangis) yang asalnya dari buka’ (menangis). —Dan hanya AllahYangMahatahu.
Ketiga, kelompok orang-orang lemah dari mereka yang memiliki berbagai kondisi spiritual, orang-orang yang berhati bersih dan orang-orang yang mampu mencapai hakikat dengan keinginannya. Ketika mereka tidak mampu menguasai anggota tubuhnya dan menyembunyikan apa yang ada dalam dirinya, maka mereka berusaha untuk wajd dan menyingkirkan apa yang tidak sanggup mereka pikul, karena tidak ada jalan lain untuk menolaknya. Sehingga tawajud mereka adalah sebagai solusi dan menghibur diri. Mereka adalah orang-orang lemah dari kalangan orang-orang yang mencapai hakikat.
Saya mendengar Isa al-Qashshar berkata: Saya melihat al-Husain bin Manshur al-HaIlaj tatkala dikeluarkan dari penjara untuk dihukum gantung, maka ucapan yang terakhir kali keluar dari lidahnya adalah, “Cukup bagi seorang yang wajd untuk menauhidkan Dzat Yang Maha Esa.”
Sementara itu, tidak seorang pun dari para guru Sufi di Baghdad yang mendengar kalimat itu kecuali akan menganggapnya baik.
Abu Ya’qub an-Nahrajun —rahimahullah— ditanya tentang  yang benar dan yang salah. Maka ia menjawab, “Wajd yang benar adalah yang bisa diterima oleh hati orang-orang yang wajd, sedangkan wajd yang salah adalah yang diingkari dan tidak bisa diterima oleh hati mereka, sementara orang-orang yang ada dalam majelis merasa jenuh. Sebab mereka adalah orang-orang yang sepadan dan bukan orang-orang di luar tingkatannya.”
Sumber : sufinews